Inventarisasi dan Revaluasi Aset Negara

Inventarisasi dan Revaluasi Aset Negara: Langkah Awal Penerapan Good Governance Dalam Menata dan Mengelola Barang Milik Negara

Banjarbaru, 16 Agustus 2007 | Kantor Wilayah XII DJKN Banjarmasin
Sebagaimana diketahui, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2004, 2005, dan 2006 oleh Badan Pemeriksa Keuangan dinyatakan disclaimer / tidak memberikan pendapat apapun. LKPP merupakan rapor pemerintah dalam mempertanggungjawabkan amanat yang dipercayakan rakyat, utamanya yang terkait dengan penggunaan anggaran/dana publik, juga kepada stakeholder lainnya (lembaga donor, dunia usaha, dll).
Oleh sebab itu, Pemerintah melalui Menteri Keuangan selaku BUN (red : Pengelola Barang), sempat menagih janji Dirjen Kekayaan Negara agar status Laporan Keuangan dari sisi kekayaan negara tidak lagi disclaimer pada tahun 2008 (Kompas 9 Juni 2007), dengan langkah inventarisasi dan revaluasi aset/kekayaan negara diharapkan akan mampu memperbaiki/menyempurnakan administrasi pengelolaan BMN yang ada saat ini. Dengan langkah inventarisasi dan penilaian BMN tersebut, diproyeksikan kedepan akan dapat terwujud database BMN yang akurat dan reliable, sehingga dapat dipergunakan bagi kepentingan penyusunan rencana kebutuhan dan penganggaran atas belanja barang dan/atau belanja modal pada kementerian/lembaga negara.   Pengelolaan barang milik negara merupakan fungsi yang sangat strategis dan vital. Dilihat dari sudut politik, hal ini berhubungan langsung dengan pengejawantahan kedaulatan rakyat untuk melindungi segenap tumpah darah dan tanah air Indonesia, yaitu bahwa setiap jengkal wilayah NKRI harus kita jaga dan pelihara agar tidak jatuh ke tangan pihak luar. Sedangkan dari sudut fiskal, pengelolaan barang milik/kekayaan negara harus menjadi concern kita bersama, bahwa hampir kurang lebih 80 % dari komposisi aset/kekayaan negara kita adalah berbentuk aset tetap (tanah dan/atau bangunan), dimana pada LKPP beberapa tahun belakangan ini masih menjadi persoalan dan sorotan auditor eksternal pemerintah (BPK) dalam memberikan opini. BPKP pada kesempatan rapat dengar pendapat dengan DPR (Selasa,12/6/2007) mengungkapkan bahwa aset negara dihampir 90% lembaga negara belum dikelola secara profesional, dimana aset/kekayaan negara belum terinventarisasi dengan baik dan memadai sehingga berakibat Laporan Keuangan (LK) lembaga negara tersebut kualitasnya buruk.   Peran Menteri Keuangan selaku BUN, utamanya yang berkaitan dengan tugas sebagai Pengelola Barang ( dalam hal ini direpresentasikan oleh Ditjen Kekayaan Negara / DJKN ) sebagai sosok unt organisasi yang vital, menjadi garda terdepan mewujudkan best practises tata kelola barang milik/kekayaan negara yang sampai saat ini masih belum tertata dengan baik, sehingga hal ini diharapkan akan mampu menjawab pertanyaan ”berapa sebenarnya nilai aset/kekayaan bangsa Indonesia ini, yang terbentang luas dari ujung Sabang sampai Merauke?”.
Harus diakui mengelola aset / kekayaan negara ini tidak segampang membalikkan telapak tangan, mengingat sejak kemerdekaan yang melahirkan NKRI sampai sekarang belum bisa diketahui secara pasti (akurat) berapa jumlah kekayaan bangsa ini. Hal ini disebabkan pengelolaan barang milik negara masih belum menjadi perhatian/prioritas penanganan para pengambil kebijakan, bila dibandingkan dengan pengelolaan anggaran (uang). Pengelolaan barang milik negara yang profesional dan modern dengan mengedepankan good governance diharapkan akan meningkatkan kepercayaan (trust) dan pengakuan pihak luar atas reformasi birokrasi yang sedang digaungkan oleh pemerintah, sehingga citra pemerintah di mata lembaga internasional serta pihak donor akan membaik.   Departemen Keuangan (2007) merilis laporan yang menyatakan, bahwa aset negara yang tercatat dalam neraca pemerintah pertanggal 31 Desember 2006 adalah sebesar Rp. 1.253,72 triliun, sedangkan nilai kewajiban pemerintah pertanggal yang sama sebesar Rp. 1.318,16 triliun. Jadi kekayaan bersih / ekuitas dana pemerintah pertanggal 31 Desember 2006 adalah minus  sebesar Rp. 64,45 triliun, mengalami penurunan jika dibandingkan kekayaan bersih pemerintah pertangggal 31 Desember 2005 yang juga minus sebesar Rp. 168, 92 triliun. Kekayaan bersih / ekuitas pemerintah yang masih minus tersebut dikarenakan pemerintah belum menginventarisasi aset dengan benar dan memperbarui nilai aset tersebut.   LKPP disusun dari penggabungan laporan keuangan masing-masing kementerian/lembaga (Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan CaLK) yang sumber datanya dari Sistem Akuntansi Instansi (SAI). SAI terdiri atas Sistem Akuntansi Keuangan (SAK) dan Sistem Akuntansi Barang Milik Negara (SABMN). Munculnya opini disclaimer salah satunya disebabkan aset/kekayaan Negara khususnya barang milik Negara (BMN) belum diinventarisasi dan dinilai pada kondisi wajar, sehingga kevalidan dan keakuratan data yang selama ini  ada masih perlu di-cross check di lapangan.   Untuk itu, inventarisasi seluruh barang milik negara yang tersebar di pelosok Indonesia mutlak harus dilakukan agar terpotret secara jelas nilai aset/kekayan negara yang saat ini berada di penguasaan masing-masing kementerian/lembaga negara. Selanjutnya setelah itu dilakukan tahap penilaian ulang (revaluasi) aset / kekayaan negara, khususnya yang berupa tanah dan/atau bangunan oleh Pengelola Barang guna mendapatkan nilai wajar atas aset tetap tersebut.   Inventarisasi dan revaluasi barang milik negara merupakan bagian tak terpisahkan dari proses manajemen aset negara itu sendiri, seperti disebutkan dalam PP No.6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, dimana pengelolaan barang milik negara itu meliputi : (1) perencanaan kebutuhan dan penganggaran, (2) pengadaan, (3) penggunaan, (4) pemanfaatan, (5) pengamanan dan pemeliharaan, (6) penilaian, (7) penghapusan, (8) pemindahtanganan, (9) penatausahaan, (10) pembinaan, pengawasan, dan pengendalian.
Mengenai pelaksanaan inventarisasi BMN tersebut, Menteri Keuangan sebagai Pengelola Barang, diberi mandat oleh UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara juncto PP No.6/2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah pasal 70 untuk melakukan inventarisasi atas BMN, khusus berupa tanah dan/atau bangunan yang berada di kementerian/lembaga minimal sekali dalam 5 tahun. Sedangkan untuk selain tanah dan/atau bangunan hal itu merupakan kewenangan dan menjadi domain/tanggung jawab masing-masing Menteri / Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Barang.   Adapun terhadap pelaksanaan penilaian BMN, dalam UU No.1/2004 juncto PP No.6/2006 pasal 37-38, penilaian tersebut dilakukan dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah, dalam hal pemanfaatan, dan pemindahtanganan BMN untuk mendapatkan nilai yang wajar. Yang perlu dipahami dan diperhatikan, bahwa penetapan nilai BMN untuk keperluan penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah harus dilakukan dengan tetap berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) sebagaimana diatur dalam PP No.24/2005.   Pernyataan Nomor 7 tentang Akuntansi Aset Tetap, disebutkan bahwa aset tetap dihitung dengan menggunakan harga/nilai perolehan, sedangkan apabila akan dinilai atas aset/kekayaan negara yang tidak diketahui nilai perolehannya, harus menggunakan/metode penilaian wajar aset tersebut pada saat perolehan, demikian juga pesan yang ditegaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59 Tahun 2005 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat.   Sebagaimana telah disampaikan di atas, bahwa masih banyak aset/kekayaan negara yang berada dalam penguasaan kementerian/lembaga sekarang ini tercatat dengan nilai Rp.1,- hal ini tentu sangat merugikan dari sisi neraca pemerintah, mengingat secara fisik aset/kekayaan negara tersebut bila dinilai dengan wajar akan keluar nilai yang signifikan dan lebih mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Untuk itu, kegiatan inventarisasi dan penilaian yang telah ditetapkan tersebut diharapkan akan lebih difungsikan untuk menatausahakan BMN secara tertib yang telah ada dan merevaluasi atas aset-aset yang masih dinilai Rp. 1,- tersebut. Tentu saja pekerjaan ini bukan tanpa kendala, mengingat luasnya cakupan obyek BMN yang tersebar di seluruh Indonesia. Untuk itu, diperlukan ketersediaan SDM yang handal dan profesional bagi pelaksanaan kegiataan tersebut agar target LKPP tahun 2008 tidak dinilai disclaimer lagi dapat terwujud. Disamping itu, yang tak kalah penting adalah ketersedian data awal BMN, terutama data tanah dan/atau bangunan yang berada di masing kementerian/lembaga, sebagai sumber data yang akurat dan reliable bagi petugas di lapangan nantinya. Sehingga pelaksanaan kegiatan inventarisasi dan penilaian BMN di seluruh Indonesia yang ditargetkan dimulai tahun 2007 ini jelas akan berbeda target penyelesaian program kerja ini tiap masing-masing daerah / regional kantor wilayah di lingkup DJKN, dilihat dari sisi ketersediaan data awal BMN tersebut.   Sebagai contoh untuk 7 kantor wilayah di 7 propinsi di lingkup DJKN yang telah selesai program inventarisasi awal BMN, berupa tanah dan/atau bangunan, dalam kurun waktu 2006 yaitu Propinsi Sumatera Utara, Propinsi DKI, Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Tengah, Propinsi D.I. Yogyakarta, Propinsi Jawa Timur, Propinsi Sulawesi Selatan. Daerah-daerah tersebut dijadikan pilot project penerapan Sistem Informasi Tanah dan Bangunan (SITB) oleh Direktorat Pengelolaan Barang Milik/Kekayaan Negara Ditjen Perbendaharaan (sekarang diintegrasikan dengan DJKN) dalam kurun waktu tersebut dengan melibatkan Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan yang membawahi daerah bersangkutan. Dengan demikian, jelas pelaksanaan kegiatan inventarisasi dan penilaian BMN di wilayah selain 7 daerah tersebut (Sumut, DKI, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Sulsel) tentu akan lebih banyak membutuhkan sumber daya dan kerja keras lebih, mengingat ketiadaan sumber data awal BMN, khususnya tanah dan/atau bangunan. Bisa dibayangkan BMN yang berada di Kalimantan, Maluku, Papua, dan sebagian Sulawesi,  yang begitu banyaknya dan tersebar di pelosok-pelosok daerah yang infrastrukturnya kurang memadai. Jadi, pelaksanaan inventarisasi dan penilaian BMN yang sekarang sudah mulai berjalan perlu strategi yang tepat dan koordinasi yang menyeluruh antarpihak-pihak yang berkepentingan. Paling tidak sebelum kegiatan inventarisasi dan penilaian ini benar-benar diimplementasikan di lapangan perlu diadakan sosialisasi kepada masing-masing satker pada kementerian/lembaga di daerah mengenai manfaat dan urgensi dari pelaksanaan kegiatan inventarisasi dan penilaian BMN serta kepentingan pemerintah atas kegiatan ini, yaitu demi penyusunan LKPP, sehingga diharapkan tidak terjadi miskoordinasi dan salah persepsi dari satker-satker tersebut yang dapat menghambat kelancaran kegiatan dimaksud.
Pelaksanaan inventarisasi dan penilaian BMN yang dimulai bulan Agustus 2007 ini harusnya telah ditetapkan cut of date laporan BMN, misalnya laporan BMN semester I tahun 2007 atau malah laporan BMN pertanggal 31 Desember 2006 pada masing-masing satker tersebut, sebagai acuan dalam menentukan gambaran perbandingan nilai wajar BMN (tanah dan/atau bangunan) pada saat sekarang, dan bisa dilihat pergerakan/kenaikan nilai aset/kekayaan negara dari waktu ke waktu, bila dibandingkan dengan hasil pencatatan aset/kekayaan negara yang terjadi selama ini, yaitu berdasarkan harga/nilai perolehannya. Ambil contoh, wajarkah nilai gedung/bangunan yang dibangun 1970 sebesar Rp. 400 juta, dalam kurun waktu lebih dari 35 tahun di neraca tetap tercatat sebesar Rp. 400 juta. Dari sini nilai gedung/bangunan tersebut selayaknya dilakukan direvaluasi untuk mencerminkan nilai wajar pada saat ini. Logika hukumnya, UU No.1/2004 juncto. PP No.6/2006 mengamanatkan bahwa Pengelola Barang diharuskan melakukan inventarisasi BMN berupa tanah dan/atau bangunan minimal sekali dalam 5 tahun. Sekaligus merevaluasi obyek BMN, berupa tanah dan/atau bangunan tersebut. Dengan demikian, diharapkan LKPP tahun 2008 pada posisi aset/harta pemerintah akan melebihi nilai kewajiban pemerintah pada tahun itu, sehingga nilai kekayaan bersih / ekuitas dana pemerintah tidak minus lagi. Hal itu penting agar terdapat keseragaman sumber data pertanggal berapa yang akan diinventarisir dan dilakukan revaluasi atas BMN tersebut sehingga dapat dijadikan pijakan awal penentuan jumlah dan nilai aset pada kementerian/lembaga negara bersangkutan. Sebagai ilustrasi dari penjelasan tersebut di atas dapat digambarkan sebagai berikut :   Persoalan LKPP yang masih discleimer merupakan tanggung jawab kita bersama sebagai aparatur negara. Wajah pemerintah sebagian diperlihatkan kepada rakyat dan stakeholder lainnya, yaitu dengan opini BPK dalam memberi nilai pada LKPP tersebut. Berdasarkan PP No.24/2005 di atas, pencatatan aset/kekayaan negara adalah sebesar harga/nilai perolehannya. Ketika suatu aset/kekayaan negara, khususnya tanah dan/atau bangunan direvaluasi untuk kepentingan penyusunan LKPP dan akan memunculkan nilai wajar  yang baru atas aset tersebut sesuai kondisi sekarang, pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah apakah nilai baru hasil revaluasi tersebut dapat langsung dicantumkan/dimasukkan dalam laporan neraca yang secara otomatis akan menambah nilai aset pada masing-masing kementerian/lembaga tersebut karena sesuai aturan PP No.24/2005 secara tegas dinyatakan bahwa aset/kekayaan itu dicatat dalam neraca satker/SABMN adalah sebesar nilai perolehan, kalaupun nilai aset itu adalah Rp. 1,- dan harus dilakukan revaluasi, metodenya adalah dengan menilai aset itu pada saat perolehannya. Pihak Auditor (BPK, BPKP, dan Itjen Departemen/Lembaga) tentu dalam pemeriksaan masih tetap bersandar pada peraturan yang ada tersebut. Untuk itu, perlu langkah-langkah komprehensif dan koordinasi dari semua pihak (Departemen Keuangan dan BPK) untuk duduk bersama dalam menangani dan mencermati persoalan hukum ini dalam kaitan nantinya dengan hasil (output) kegiatan penilaian aset/kekayaan negara tersebut.
Bagaimanapun juga kedepan barang milik / kekayaan negara harus dikelola oleh SDM yang profesional dan handal, karena hal tersebut menjadi kebutuhan yang vital dan strategis pada masing-masing kementerian/lembaga negara. Penataan pengelolaan barang milik negara yang sesuai dengan semangat good governance tersebut, saat ini menjadi momentum yang tepat karena mendapat dukungan politik dari pemerintah. Awal Juli, Presiden RI pada rapat terbatas dengan Menteri Keuangan serta Menteri dan Pejabat terkait  lainnya yang khusus membahas mengenai opini BPK atas LKPP, secara eksplisit menegaskan akan pentingnya inventarisasi dan revaluasi aset/kekayaan negara yang ada saat ini sebagai bagian dari penyempurnaan manajemen aset negara secara keseluruhan. Tuntutan penerapan good governance dalam manajemen aset/kekayaan negara saat ini sudah tidak dapat ditunda-tunda lagi.Tentunya hal tersebut akan membuka cakrawala kita bersama tentang urgensi dan pentingnya kegiatan inventarisasi dan revaluasi BMN itu, sehingga dapat diharapkan mampu untuk meningkatkan status opini LKPP yang saat ini masih disclaimer menjadi unqualified opinion.
Kalau tidak saat ini, kapan lagi?
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/detail/inventarisasi-revaluasi-aset-negara
Share on Google Plus

About Unknown

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar